Pentingkah berencana dalam berumah tangga? Sebagian besar orang menjawab: ya. Dengan begitu, tahun demi tahun, masa berganti dan waktu yang berlalu akan memberikan catatan hidup yang membahagiakan bagi suami-istri, dan anak-anak mereka.
(Oleh : Yeni Yuni Astuti, S.Sos Penyuluh KB Ahli Muda Dinas PP dan KB Kabupaten Ponorogo)
Pandemi covid-19 menjadi ‘tersangka’ atas batalnya banyak resepsi pernikahan. Rencana menghadirkan tetamu untuk disuguhi berbagai sajian boleh saja pupus. Tapi, rencana untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, tenteram, bahagia dan penuh kasih sayang, sakinah mawaddah warahmah, tidak boleh surut. Karena, penting bagi Indonesia untuk memiliki keluarga-keluarga yang harmonis sebagai modal untuk menjadi Indonesia yang berkualitas.
Lalu, bagaimana cinta bisa jadi modal Indonesia berkualitas? Muluk-muluk barangkali. Tapi harus diakui, cinta bisa membuat segalanya lebih indah.
Cinta yang bersemi di antara dua anak cucu Adam menjadi semakin indah dan akan terus bersemi tatkala diresmikan menjadi sebuah keluarga. Sepasang lelaki-perempuan yang membentuk keluarga dengan didasari saling cinta dan cinta terhadap Tuhannya tentu berharap keluarga yang dibina menjadi rumah tangga yang penuh kasih sayang dan berkualitas.
Meski jatuh cintanya tidak terencana alias tiba-tiba, namun ketika sampai waktunya untuk membentuk mahligai rumah tangga, umumnya sepasang kekasih merencanakan langkah-langkah mereka untuk hidup berdua dalam ikatan pernikahan.
Pentingkah berencana dalam berumah tangga? Sebagian besar orang menjawab: ya. Dengan begitu, tahun demi tahun, masa berganti dan waktu yang berlalu akan memberikan catatan hidup yang membahagiakan bagi suami-istri, dan anak-anak mereka.
Karir atau usaha yang sukses biasanya diraih oleh upaya yang direncanakan dengan baik. Anak-anak yang sehat dan berprestasi umumnya lahir dari gizi dan pendidikan yang tercukupi. Keluarga yang tak berkekurangan hampir pasti hadir dari manajemen keuangan yang bagus. Rencana : penting untuk menggapai cita-cita keluarga.
Keluarga bernama ‘Indonesia’ pun demikian juga. Mahligai kebangsaan yang terdiri atas berjuta keluarga ini juga harus direncanakan dengan baik untuk bisa meraih cita-cita warga bangsanya. Yaitu bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Negara juga memiliki instrumen untuk bisa membawa setiap keluarga di Indonesia bisa menjadi keluarga yang berkualitas. Dirintis pada periode 1953-1966-an dan mulai menjadi perhatian sejak tahun 1967-an, gerakan Keluarga Berencana menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut.
Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) adalah tujuan gerakan ini. Keluarga kecil, dalam skala negara adalah negara dengan jumlah penduduk yang terkendali. Caranya, menerapkan semboyan ‘Dua Anak Cukup’. Sebab, jumlah penduduk yang besar dan melebihi sumber daya alam yang tersedia bisa membuat negara dan warganya jatuh pada kemiskinan.
Seperti suami istri yang harus mengurus anak yang banyak jumlahnya. Lebih dari dua. Bisa tiga, empat atau bahkan lebih dari lima. Saat si ibu menyiapkan sarapan untuk si sulung, si bungsu baru bangun dan menangis karena popoknya basah oleh ompol. Ketika ayah menyiapkan kendaraan untuk berangkat bekerja, si tengah minta disuapi. Kekacauan pagi yang menjadi warna sehari-hari bisa berlarut-larut hingga malam tiba.
Gerakan Keluarga Berencana merupakan upaya untuk mengendalikan jumlah anggota keluarga di rumah tangga. Yaitu dimulai dari taraf keluarga di rumah-rumah tangga yang ada dengan penggunaan alat kontrasepsi demi menjarangkan kelahiran, pendewasaan usia perkawinan hingga penyadaran kesehatan reproduksi serta membina para lansia.
Gerakan ini menjadi semakin penting karena tidak lama lagi Indonesia berada pada suatu kondisi kependudukan yang disebut Bonus Demografi. Hal ini diperkirakan tiba pada tahun 2020 hingga 2030. Disebut sebagai ‘bonus’ karena 70 persen penduduk berada di usia produktif. Bonus Demografi adalah perubahan struktur umur penduduk yang menyebabkan menurunnya angka beban ketergantungan.
Bonus demografi merupakan suatu fenomena, di mana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan. Sebab jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sementara proporsi usia muda semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak. Yang disebut penduduk yang produktif adalah penduduk berusia 15 tahun hingga 64 tahun. Sementara penduduk tak produktif berusia di bawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas.
Data dari sejumlah sumber menyatakan, pada tahun 1971, jumlah ketergantungan di Indonesia masih sangat tinggi. Yaitu 86 orang tak produktif ditanggung 100 pekerja. Sementara pada tahun 2000, jumlah ketergantungan sudah mulai menurun yaitu 54 ditanggung 100 pekerja.
Sebenarnya, bonus demografi adalah suatu fenomena dimana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan. Hal ini karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sedang proporsi usia muda sudah semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak.
Bonus demografi dapat menjadi anugerah bagi bangsa Indonesia, dengan syarat pemerintah harus menyiapkan generasi muda yang berkualitas tinggi SDM-nya melalui pendidikan, pelatihan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan investasi.
Para ahli kependudukan di Indonesia memperkirakan, pada tahun 2020-2030, Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif. Sedang usia tidak produktif sekitar 80 juta jiwa. Atau,setiap 10 orang usia produktif hanya menanggung 3-4 orang usia tidak produktif, sehingga akan terjadi peningkatan tabungan masyarakat dan tabungan nasional.
Namun bonus demografi menyimpan sejumlah masalah di balik berbagai keuntungannya. Masalah itu antara lain adalah rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) karena masyarakatnya mengabaikan indeks-indeksnya. IPM ini dilihat dari berbagai sisi, yaitu; kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Faktor kesehatan mengancam bonus demografi jika manusia usia produktifnya memiliki kebiasaan-kebiasaan tidak baik yang berakibat pada buruknya tingkat kesehatannya. Misalnya kebiasaan merokok, mengonsumsi minuman keras dan narkoba yang berakibat pada penurunan jumlah angkatan kerja. Hal ini karena manusia pada usia produktif akan berubah menjadi tidak produktif. Sederhananya,usia 30 sudah sakit-sakitan dan lain sebagainya.
Faktor pendidikan menyebabkan persoalan bagi bonus demografi. Pendidikan yang rendah mengakibatkan banyak masyakat yang menganggur karena banyak penduduk usia produktif yang tidak dapat bekerja secara maksimal. Tenaga kerja yang tidak terdidik juga tidak akan mampu terserap dengan baik di dunia kerja.
Faktor kondisi ekonomi juga menjadi penentu suatu negara dapat memaksimalkan bonus demografi. Dengan perekonomian yang baik negara dapat dengan mudah memajukan pendapatan masyarakat, sebaliknya ekonomi yang buruk akan menjadikan masyarakat Indonesia tidak memiliki peran di negeri sendiri karena banyaknya investor asing.
Jadi, dengan cinta yang terencana, tentu kita akan siap menghadapi bonus demografi yang sebentar lagi tiba. Rumah tangga yang dibangun dengan cinta yang terencana diharapkan membentuk keluarga yang berkualitas. Cinta terencana dari masing-masing akan menjadi modal bagi rumah tangga Indonesia yang kuat dan berkualitas dalam bonus demografinya pada satu dua dekade ke depan. Ayo Bina Cinta Keluarga, Cinta Terencana. (sumber foto : ciburial.desa.id)