Disiplin merupakan kata yang memiliki kesan menakutkan, kaku, sesuatu yang konsekuensinya berupa hukuman. Namun, dengan rumus yang tepat, pendisiplinan bisa dak bisa diubah, berhubungan dengan aturan-aturan, ribet dan ada komenjadi sesuatu yang patut untuk selalu dikenangkan tanpa kisah pahit ‘kekerasan’.
Penulis : Yeni Yuni Astuti, S. Sos, Penyuluh Keluarga Berencana di Kecamatan Sampung, Ponorogo.
Model pembentukan disiplin pada 15-20 tahun lalu seringkali menimbulkan rasa tertekan, kekesalan, rasa marah, berontak, penentangan, kebencian dan perasaan negatif lainnya. Walau demikian, bagi mereka yang kini sudah menjadi orang tua alias dewasa dan memiliki pribadi yang disiplin, cara-cara pendisiplinan berupa ‘tempaan’ yang keras dengan diikuti berbagai perasaan tidak menyenangkan akan disyukurinya.
Namun dari generasi ke generasi, tempaan untuk pendisiplinan kedisiplinan biasanya melunak, melembek. Ini sebagai akibat pengalaman pahit pendisiplinan dengan tindakan yang tidak menyenangkan dari orang tua mereka.
Bisa juga karena minimnya pengetahuan tentang perkembangan anak yang kemudian membuat orang tua tidak memiliki batasan yang jelas tentang menjalankan disiplin bagi anak-anaknya. Hal ini bisa memunculkan anak-anak yang tidak memiliki sikap disiplin di masa mendatang.
Namun, sebenarnya ada cara atau upaya yang bisa dilakukan untuk membentuk anak yang disiplin tanpa menghadirkan perasaan tidak nyaman bagi anak maupun keluarga. Yaitu pendekatan disiplin dengan kasih sayang.
Ketika ‘cara-cara lama’ dalam membentuk kedisiplinan menghadirkan perasaan tidak nyaman bagi orang tua maupun anak, maka perlu dicari alternatif atau pilihan cara agar hasil dari pendisiplinan yang dilakukan orang tua terhadap anak bisa dijalankan oleh anak-anak secara sukarela bahkan menyenangkan.
Lalu, mengapa disiplin tidak mudah? Banyak hal yang mempengaruhi sulitnya pembentukan disiplin terhadap anak-anak. Pertama, orang tua ingin meninggalkan cara-cara lama pendisiplinan bagi anak- anak mereka tapi tidak mengetahui cara yang tepat dan benar untuk mendisiplinkan anak-anak.
Kedua, ketidaktahuan ini membuat orang tua cenderung mengabaikan akibat yang ditimbulkan oleh tidak adanya disiplin bagi anak, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Ketiga, disiplin baru berjalan bila ada kesepakatan di antara orang tua mengenai aturan dan konsuekusni yang akan diterapkan pada anak. Namun, biasanya sulit sekali mencapai kesepakatan antara kedua orang tua mengenai hal ini.
Keempat, masing-masing anak adalah pribadi yang unik sehingga peraturan maupun konsekuensi yang ditentukan harus berdasarkan keunikan yang dimiliki, kecuali untuk hal-hal tertentu seperti beribadah pada waktunya.
Untuk menjalankan disiplin berlandaskan kasih sayang diperlukan adanya batasan yang jelas, masuk akal dan sesuai dengan usia dan keunikan anak. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam menentukan batasan sebagai cara membentuk kedisiplinan.
Batasan pertama adalah tentang ruang di mana anak dapat bermain dan melakukan eksplorasi tanpa rasa ragu dan tidak merugikan orang lain. Contohnya adalah soal lokasi aman untuk bermain, misalnya diarahkan untuk bermain di halaman rumah atau lapangan dan bukan di jalan umum.
Kedua, batasan yang melindungi anak dari gangguan fisik, kekerasan dan gangguan psikologis serta membantunya hormat kepada orang lain.
Ketiga, batasan dibuat untuk hal-hal yang penting saja sebab terlalu banyak batasan membuat anak bingung mematuhi hal-hal yang dibatasi tersebut.
Keempat, batasan harus dibuat masuk akal dan adil untuk anak berdasar usianya. Kemudian ubah batasan tersebut sesuai dengan usia perkembangan anak.
Kelima, bantu anak mengerti alasan dari batasan yang dibuat untuknya. Kalau sudah cukup besar, libatkan anak dalam membuat beberapa batasan untuk dirinya. Dengan demikian anak menjalani batasan tersebu tidak dengan perasaan negatif.
Keenam, orang tua harus TTS atau Tegas, Tegar dan Sabar dalam berusaha menegakkan batasan bagi anak. Bila tidak tegas dan konsisten maka orang tua akan kehilangan wibawa. Terutama bagi anak di bawah 8 tahun, mereka membutuhkan batasan-batasan yang tegas.
Ketujuh, batasan harus jelas dan positif. Batasan harus bisa menjelaskan hal yang diinginkan orang tua terhadap anaknya. Perintah sebaiknya tidak terlalu umum. Batasan yang positif membantu anak mengendalikan emosi dan mencegah orang tua membuat batasan secara negatif.
Setelah menentukan batasan, ada tiga hal yang harus diperhatikan agar disiplin tumbuh dalam diri anak. Ketiganya bisa penulis singkat dengan singkatan CBK, yaitu Cegah, Bimbing, Konsekuensi.
Cegah, artinya mencegah atau menghindari timbulnya suatu masalah.
Bimbing, artinya membimbing saat masalah timbul untuk menangani konflik dan mengajarkan anak untk bertindak dan bertanggung jawab. Bimbingan juga berguna untuk menghindari masalah yang sama di kemudian hari.
Konsekuensi, hal ini baru diterapkan bila cegah dan bimbing tidak berjalan. Konsekuensi harus dilakukan ‘dekat’ dengan waktu di mana anak menunjukkan kenakalannya atau bertingkah yang tidak patut. Hal ini dilakukan agar anak mengetahui beda antara yang baik dan buruk.
Bagaimana agar dapat menjalankan disiplin dengan kasih sayang?
Berikut rumusnya. Satu, harus disadari bahwa anak punya potensi untuk patuh dan penurut asal aturannya jelas. Dua, orang tua harus mampu mengarahkan disiplin pada akar masalahnya.
Tiga, patut diingat bahwa anak bukan miniatur orang dewasa. Empat, jika satu cara pendisiplinan tidak cocok, pilih cara yang lain. Disiplin juga harus lentur.Lima, selesaikan tingkah laku anak dengan kreatif dan penuh humor, jangan tegang terus.
Enam, untuk menghadapi anak yang sedang nakal lebih bijak menggunakan rumus berikutnya yaitu SLP-B
S = Stop, L = Lihat dan dengar, cari tahu apa yang terjadi, P = Pikirkan apa penyebab dan bagaimana menyelesaikannya dan terakhir, B = Bertindak dengan penuh kasih dan pengertian.
Cara pendisiplinan dengan kasih sayang memiliki beberapa tujuan. Yaitu mengetahui tehnik disiplin yang tepat; mampu mengambil keputusan yang penuh dengan percaya diri untuk mendisiplinkan anak dengan tehnik yang tepat tersebut; lebih mengendalikan diri dalam bereaksi terhadap tingkah laku ‘nakal’ anak dan menurunkan tingkah laku secara segera dan otomatis.
Tujuan berikutnya adalah meningkatkan kemampuan berkomunikasi yang baik dalam mencegah dan mengarahkan anak sehingga tidak mudah menghukum anak secara fisik; dan terakhir merasakan menurunnya stres atau ketegangan dalam mengasuh anak sehari- hari.
Dengan mencoba menerapkan semua pendekatan dan kiat-kiat mendisiplinkan anak dengan kasih sayang ini, diharapkan anak-anak mampu mengontrol diri dan perilakunya dengan kesadaran yang tumbuh manis dalam dirinya dan tetap menjadi dirinya sendiri.
Biarlah mereka mengenang dan menilai orang tua sebagai orang tua yang meresapkan kasih sayang ke dalam jiwanya yang kemudian akan melahirkan keindahan budi pekerti dan pesona pribadi penuh kedisiplinan.
(Sumber Pustaka : Disiplin Dengan Kasih Sayang, Seri Pegangan Untuk Orang Tua, Terbitan Departemen Departemen Pendidikan Nasional RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Dan Pemuda, Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia bekerja sama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dicetak oleh Bagian Proyek Pengembangan Anak Dini Usia Pusat tahun 2004)